SUATU pagi di tahun 1952, Sutomo alias Bung Tomo mendatangi Istana untuk bertemu dengan Presiden Sukarno. Kedatangannya untuk mengkonfirmasi sebuah kabar yang menyebut Bung Karno pacaran dengan seorang wanita asal Salatiga bernama Siti Suhartini.
Bung Tomo gusar karena wanita itu masih memiliki suami. Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo, mengisahkan jika suaminya merasa sedih setelah mendapat kabar itu dari Mayor Jenderal Bambang Soegeng, Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu.
“Bagaimana, ya, Pak Bambang. Itu kan merusak pagar ayu. Nanti bagaimana akibatnya?,” ujarnya menirukan ucapan suaminya, seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 9 November 2015.
Usai menghabiskan santap pagi bersama Sukarno di Istana kala itu, Bung Tomo memberanikan bertanya.
“Mas, enek sing cerito, jarene Mas iki ngene yo? (Mas, ada yang cerita, katanya Mas ini begitu ya (berencana menikahi Hartini)?” ucapnya kepada Sukarno.
Presiden pertama Indonesia ini tak menjawab pertanyaan dari rekan seperjuangannya itu.
Bung Tomo tak menyerah atas reaksi diam Sukarno. Setengah mendesak, ia mengulangi pertanyaannya.
“Apa betul, Mas?” kata Bung Tomo. Lagi-lagi Bung Karno membisu.
Geregetan tak mendapat jawaban, Bung Tomo langsung menyemprot Sukarno.
“Mas, ojo ngono. Wong Jowo iku ora entuk nabrak pager ayu (Mas, jangan begitu. Orang Jawa itu tidak boleh menikahi perempuan yang masih bersuami),” kata Bung Tomo.
Mendengar perkataan Bung Tomo, Sukarno langsung berdiri dan membanting piring.
“Kowe iki ngerti opo, arek enom, kok! (Kamu itu mengerti apa, anak muda!)”.
Tak mau kalah, Bung Tomo juga ikut membanting piring.
“Yo wis nek gak gelem dikandhani ambek adike dewe. Iku pantangan, Mas! (Ya sudah, kalau tidak mau dinasihati adik sendiri. Itu pantangan, Mas!)”.
Seusai cekcok singkat tersebut, Bung Tomo langsung angkat kaki dari Istana dan kembali ke kediamannya di Malang, Jawa Timur. Kejadian itu merupakan sarapan terakhir Bung Tomo bersama Sukarno.
Anak Bung Tomo, Bambang Sulistomo mengatakan kritik yang menyenggol kehidupan pribadi itu memicu keretakan hubungan antara ayahnya dan Sukarno. Padahal mulanya dua tokoh bangsa itu sangat akrab sejak masa revolusi. Saking dekatnya dengan Sukarno, Bung Tomo kerap diundang sarapan bareng di Istana.
Sulistina mafhum dengan reaksi suaminya.
“Dia orang yang sangat setia,” kata dia.
Keputusan Sukarno memperistri Hartini tak hanya diprotes Bung Tomo, yang dikenal antipoligami, tapi juga dikecam Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).
Konflik antara Bung Tomo dan Sukarno pun menjalar hingga panggung politik. Bung Tomo pernah menyatakan bahwa Sukarno dan kabinet Ali Sastroamidjojo telah gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ia juga pernah menggugat Sukarno ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960 karena membubarkan DPR melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Source : Majalah Tempo edisi 9 November 2015.
0 Komentar