KABUPATEN Lingga, Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu pusat tamadun Melayu yang kaya dengan keanekaragaman tradisi dan budaya, baik yang bersifat benda (tangible) maupun tak benda (intangible).
Salah satu tradisi yang masih bertahan sampai saat ini dalam kehidupan masyarakat Lingga adalah Tradisi Bela Kampung Ketupat Lepas di Desa Kudung, Kecamatan Lingga Timur. Tradisi lisan ini merupakan bentuk perayaan dalam menyambut bulan Muharam tahun Islam.
Tradisi warisan budaya tak benda ini sudah dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Kudung.
Kearifan lokal yang terdapat dalam Tradisi Ketupat Lepas Desa Kudung ini merupakan produk masa lalu yang diturunkan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang diyakini dapat memberi konstribusi terhadap terciptanya kehidupan yang seimbang dan damai.
Dengan menjalankan tradisi menyambut bulan Muharam ini diyakini oleh masyarakat Desa Kudung sebagai bentuk Bela Kampung. Artinya dengan melaksanakan tradisi ini diyakini dapat mencegah segala marabahaya yang akan menimpa baik individu, keluarga maupun desa mereka.
Selain itu, juga diharapkan datangnya hal-hal yang baik dan bermanfaat. Dengan kata lain menghilangkan hal-hal yang bersifat negatif dan mengaharapkan datangnya hal-hal yang bersifat positif.
Tradisi Ketupat digelar di Dusun 1 Kampung Kudung pada tanggal 1 Muharam. Pada masa yang lalu tradisi bela kampung dilakukan di rumah masing-masing. Sejak era tahun 1970-an masyarakat bersepakat melakukan di masjid.
Tradisi dilakukan pada pagi hari sekitar jam 07.00 pagi, dengan cara melakukan doa tolak bala yang dipimpin oleh seorang pembaca doa. Masyarakat yang mengikuti doa bersama membawa hidangan ketupat lepas berserta lauk pauk dan air minum.
Tradisi bela kampung bukan saja dilakukan di Dusun I, Kampung Kudung, namun juga di wilayah Dusun II, Kampung Tanjung Keriting. Hanya saja berbeda dengan Kampung Kudung, di Tanjung Keriting tidak dilaksanakan pada satu Muharam tetapi hanya pada tiga kali Jumat.
Perbedaan lain adalah daun kelapa bekas sarung ketupat tidak dibuang di sungai atau laut, namun dibuang pada satu tempat. Beberapa Desa yang bertetangga dengan Desa Kudung yang berada di wilayah Kecamatan Lingga Timur juga melakukan tradisi yang sama. Desa-desa yang melakukan tradisi yang sama yakni Desa Teluk dan Desa Belungkur.
Makna dan Nilai dalam Tradisi Ketupat Lepas
Penamaan Tradisi Bela Kampung Ketupat Lepas karena ini tradisi ini tujuannya untuk membela kampung dengan memohon kepada Allah SWT supaya dihilangkan semua marabahaya (bala) dan dimohonkan datangnya segala kebaikan serta keberuntungan.
Dinamakan ketupat lepas karena tata cara melepaskan ketupat dari bungkusnya dilakukan dengan cara yang khas. Biasanya untuk mengambil isi ketupat dibelah menggunakan alat yang tajam seperti pisau. Sedangkan untuk mengambil isi ketupat lepas sebaliknya tidak menggunakan alat tajam (pisau) tersebut, tetapi dengan cara menarik satu sisi daun pembungkus sehingga tidak ada yang putus atau rusak.
Hal ini mengandung makna dasar filosofi watak orang Melayu, yakni untuk mengambil sesuatu hal yang bermanfaat atau berfaedah tidak boleh merusak yang lain. Artinya jika sudah mengambil manfaat atau faedah baik dari alam maupun dari tempat lainnya, maka alam atau tempat yang sudah diambil manfaatnya tersebut tidak boleh dirusak (harus dilestarikan).
Hal ini bertujuan agar kehidupan tetap berjalan selaras dan harmoni. Selain itu, makna filosofis lainnya adalah berkaitan dengan makna simbol, yakni pembungkus ketupat merupakan lambang dari kehidupan sedangkan isi ketupat yang putih bersih merupakan lambang dari kesucian hati (jiwa). Dengan demikian, apabila semua sifat keburukan (negatif) sudah dilepas atau dibuang dari kehidupan ini maka akan muncullah kesucian hati (jiwa) atau hal yang bersifat positif.
Secara tersirat tradisi ketupat lepas mendeskripsikan tentang keseimbangan, keselarasan, dan keserasian hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan sesama manusia. Sedangkan makna secara tersurat dapat dilihat dari perbuatan dengan kasat mata, di antaranya adalah melakukan zikir kepada Allah SWT, salawat kepada Nabi Muhammad SAW, ceramah agama, gotong royong, membuat ketupat, dan lain sebagainya.
Makna terpenting yang terkandung dari pelaksanaan tradisi bela kampung ketupat lepas ini adalah bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan Sang Pencipta yang dibangun melalui kesadaran akan keberadaan-Nya dan kepatuhan terhadap hukum dan aturan yang diturunkan-Nya.
Hubungan harmonis dengan alam dikembangkan dengan cara memandang alam sebagai makhluk Tuhan yang juga memiliki gerak kehidupannya sendiri, dan keselesaan hubungan manusia dengan alam.
Makna secara tersurat yang dapat dilihat dari ketupat lepas salah satunya adalah bentuk ketupatnya itu sendiri. Adapun dari segi nama dan bentuk ketupat dibagi menjadi dua jenis yakni ketupat jantan dan ketupat betina. Antara ketupat jantan dan ketupat betina, baik dairi segi bentuk dan cara pembuatannya berbeda. Ketupat jantan berbentuk bulat, besar dan isinya lebih banyak dari ketupat betina.
Sedangkan ketupat betina berbentuk pipih, kecil dan isinya lebih sedikit. Daun untuk membuat ketupat biasanya menggunakan daun kepala yang masih muda dan daun serdang. Sedangkan isi ketupat menggunakan beras biasa yang dikonsumsi sehari-hari.
Dalam prosesi pelaksanaan upacara ketupat lepas, ketupat jantanlah yang dihidangkan untuk para tamu. Ketupat jantan yang akan dihidangkan untuk para tamu undangan tersebut terlebih dulu diantarkan oleh masyarakat kepada pengurus masjid untuk dikumpulkan.
Masing-masing hidangan yang diantarkan kepada pengurus masjid tersebut menggunakan wadah berupa dulang yang ditutupi tudung saji dan kain. Adapun isi dari setiap hidangan terdiri atas 21 buah ketupat jantan, sambal ketupat (dibuat dari kelapa parut yang dicampur dengan bumbu-bumbu masak kadang juga dicampur dengan ikan bilis.
Dimasak dengan cara disanggrai), gulai ayam atau ikan, kue-kue basah, teh manis, dan air putih. Masing-masing dulang untuk jamuan makan lima orang yang duduk bersila saling berhadapan di atas lantai dengan formasi melingkar.
Ketupat jantan yang berbentuk bulat, besar, dan isinya lebih banyak dari ketupat betina, mengandung makna tersirat yakni berupa tanggung jawab yang besar dari seorang laki-laki (suami atau ayah) kepada istri, anak, orang tua, serta keluarganya. Seorang suami merupakan imam (pemimpin) bagi keluarganya.
Dalam konteks ini kemungkinan juga mengandung makna tersirat yang lain, yakni melambangkan bentuk alat kelamin, namun dalam wawancara dengan narasumber di lapangan tidak ditemukan maksud dari makna tersirat berupa bentuk alat kelamin tersebut. Selanjutnya dalam konsep mengenai tanggung jawab seorang suami tersebut bersandarkan kepada hukum Islam yang dijalankan oleh tradisi orang Melayu.
Adapun bentuk ketupat jantan lebih besar dari ketupat betina, tidak hanya pelambangan makna terhadap kewajiban suami terhadap istri tetapi juga pelambangan makna tanggung jawab seorang kepala keluarga, ayah terhadap anaknya sebagaimana yang telah diungkapkan di atas.
Dalam konsep Melayu tanggung jawab seorang ayah sejalan dengan konsep ajaran Islam. Anak pada dasarnya adalah amanah yang dititipkan Tuhan kepada orang tua.
Ketupat jantan dihidangkan untuk tamu undangan. Makna filosofi yang dapat diungkap dari hal ini adalah tradisi orang Melayu sangat memuliakan tamu. Ketupat jantan dihidangkan kepada tamu karena bentuknya bulat dan lebih besar dari ketupat betina. Orang Melayu akan memberikan jamuan terbaiknya apabila mereka mengundang tamu atau ada orang yang datang mengunjunginya.
Bagi orang Melayu tamu dianggap sebagai saudara yang mengunjunginya. Sebuah aib bagi orang Melayu apabila ia tidak bisa menjamu tamu dengan menyuguhkan hidangan yang baik. Biarlah ia mengutang ke kedai untuk membeli gula, teh, kopi, makanan, dan lain sebagainya asalkan dapat memberi hidangan pada tamunya.
Ketupat betina berbentuk pipih melambangkan tanggung jawab seorang perempuan sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anaknya. Bagaimana seharusnya kedudukan istri dalam rumah tangga dan dalam mendidik anak-anaknya. Bentuk kecil dan pipih juga melambangkan taat kepada suami. Isi ketupat berwarna putih melambangkan kesucian jiwa.
Selain berhubungan dengan konteks pelestarian alam seperti yang telah diungkapkan di atas, melepaskan daun pembalut ketupat juga bermakna melepaskan semua bala (marabahaya) dari kehidupan pribadi, keluarga, dan kampung. Satu hidangan yang disajikan di atas dulang dimakan oleh lima orang yang duduk bersila di atas lantai dengan formasi saling berhadapan.
Adapun makna tersirat yang terkandung di dalamnya adalah melambangkan rukun Islam yang terdiri atas lima perkara.
Dalam tradisi ketupat lepas ada salah satu prosesi acaranya berupa mengayutkan daun bekas ketupat di sungai yang langsung berhubungan dengan laut. Bekas daun ketupat merupakan lambang dari bala (malapetaka; kemalangan; cobaan) baik dalam konteks pribadi, keluarga, dan kampung. Bala dapat bersifat jasmaniah maupun ruhaniah.
Dengan mengayutkan bekas daun ketupat tersebut dimaksud mengayutkan semua bala (malapetaka; kemalangan; cobaan) dan dengan harapan bala tersebut tidak kembali lagi menimpa mereka. Bala hanyut bersama air sungai yang sampai ke laut raya. Ketika seseorang mengayutkan bekas daun ketupat tersebut maka ia menyampaikan niat atau hajat yang dicita-citakannya dengan harapan apa yang dihajatkannya tersebut dikabulkan oleh Allah SWT.
Salah satu pantang larang adalah ketupat yang sudah disedekahkan pada pihak desa (masjid) tidak boleh dibawa pulang kembali. Hal ini menandakan orang yang sudah bersedakah harus dengan niat yang ikhlas. Selain itu, konsep ini merupakan konsep sosial untuk saling berbagi di mana setiap anggota masyarakat harus sama-sama merasakannya.
Fungsi tradisi Ketupat Lepas selain sebagai media dakwah dalam menyampaikan ajaran agama, juga berfungsi sebagai media penyampaian petuah, amanah, dan tunjuk ajar dari orang yang dituakan atau pemimpin kepada khalayak. Selain itu fungsinya juga sebagai jalinan silahturahim antar merek, saling memberi, saling memaafkan, kasih sayang, menghormati tamu, dan lain sebagainya.
Fungsi lainnya adalah sarana komunikasi khusus, baik dalam kegiatan komunal, kultural, maupun ekonomi. Di antara fungsi-fungsinya tersebut, fungsi yang terpenting adalah tradisi bela kampong ketupat lepas adalah penanda jati diri masyarakat Desa Kudung.
Prosesi Upacara Tradisi Ketupat Lepas sarat dengan nilai, fungsi, dan makna baik secara tersirat maupun tersurat yang berpedoman pada hukum-hukum Islam. Tradisi ini dilaksanakan pada bulan Muharram tahun baru Hijriah selain sarat dengan nilai-nilai, makna, dan fungsi juga sarat dengan kearifan lokal Melayu. Kearifan lokal yang mengandung etika dan norma-norma sosial masyarakat. Menjaga hubungan yang harmonis antara sesama manusia, manusia dengan alam sekitar, dan manusia dengan pencipta.
(*)
Photo cover : Tradisi Ketupat Lepas, tradisi yang masih lestari dalam upaya bela kampung (tolak bala) di Desa Kudung, Kecamatan Lingga Timur (Lingga). © Kemdikbud.go.id
Sumber : Kemdikbud.go.id
0 Komentar