TIDAK terasa telah lewat satu tahun segala aktivitas dilakukan di rumah masing-masing secara online. Baik bekerja sampai belajar, segalanya dilakukan dengan prosedur work from home.
Tidak hanya pekerjaan saja yang berubah menjadi online, kejahatan ikut beralih ke dunia siber. Bagaimana caranya? Sangat kecil kemungkinan seseorang untuk tidak memiliki media sosial ketika tuntutan dunia sekarang semua harus berbasis online.
Lantas, media sosial menjadi sebuah jaring luas yang menghubungkan berbagai macam oknum. Mulai dari pengusaha tingkat atas hingga aktor, bahkan murid sampai ilmuwan yang baru menyelesaikan penelitian dapat terhubung dengan mudah.
Begitu juga dengan penyebaran informasi yang terjadi. Kecelakaan di negara lain bisa langsung diketahui oleh warga Indonesia hanya dalam hitungan menit dan video presentasi kelulusan bisa langsung ditampilkan untuk khalayak ramai tanpa kesulitan yang berarti.
Informasi yang disebar tidak hanya dalam bentuk konsumsi publik, tetapi profil bahkan sampai foto dan gambar pribadi yang tidak seharusnya beredar juga menjadi mudah untuk diakses.
Nomor telepon, alamat, bahkan jumlah anggota keluarga beserta identitasnya yang seharusnya menjadi informasi pribadi dapat diakses dan dilihat dengan mudah. Tidak hanya sebatas informasi pribadi, data biometrik seseorang saja dapat diakses oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dunia siber yang luas akhirnya membuka sebuah pintu besar untuk kekerasan berbasis gender (terutama seksual) untuk beralih ke dunia online.
Menurut WHO, kekerasan seksual merupakan segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman.
Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender dan hubungan dengan korban. Oleh karena itu, kekerasan seksual kerap disebutkan dengan Kekerasan Berbasis Gender sekarang ini.
Dalam buku panduan Memahami dan Menyikapi kekerasan berbasis gender online yang disusun oleh SAFEnet, kekerasan berbasis gender online (KBGO) adalah kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender dan difasilitasi oleh teknologi.
Pelanggaran privasi, perusakan reputasi, online harassment atau pelecehan seksual secara online, dan ancaman serta kekerasan merupakan beberapa contoh dari KBGO sendiri (Kusuma & Arum, 2020).
Bukannya menurun, justru terjadi peningkatan pesat angka KBGO di masa pandemi. Melansir data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), terjadi peningkatan kekerasan pada anak yang didominasi oleh kekerasan seksual selama masa pandemi.
Kekerasan berbasis gender sendiri meningkat sebanyak 63?n berdasarkan Dokumen Rilis Pers SAFEnet 2021 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) mengalami peningkatan sebesar 300% atau sebanyak tiga kali lipat.
SAFEnet juga menyebutkan bahwa berdasarkan Subdivisi Digital At-Risks, ada peningkatan aduan kasus terkait penyebaran konten seksual tanpa informed consent pribadi yang bersangkutan hampir 400%.
Lantas, apa yang terjadi dengan aduan-aduan ini? Apakah ada kelanjutan penyelesaian? Jawabannya adalah tidak. Kebanyakan kasus KBGO hanya dibiarkan berlalu oleh korban dan pihak lain (CNN, 2020).
Peningkatan ini disebabkan oleh segalanya yang beralih ke sistem online. Semakin besar dan semakin mudah untuk melakukan penyebaran informasi karena segalanya hanya bisa dilakukan secara online.
Seorang murid dan gurunya hanya dapat berkomunikasi via online. Seorang sarjana yang baru lulus hanya bisa melamar pekerjaan dengan interview secara online. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai murid dan sarjana ini sendiri, guru dan badan HRD atau perekrut dapat melihatnya melalui rekam jejak digital yang tersebar luas di internet yang tentunya dapat diakses oleh oknum yang tidak bertanggung jawab juga.
Beberapa contoh kasus KBGO yang sering terjadi sekarang ini adalah pelanggaran privasi dimana oknum yang tidak bertanggung jawab dengan tega mengakses dan menggunakan data, foto, video pribadi, dan tangkapan layar percakapan pelaku dan korban yang mengandung unsur intim dan pornografi tanpa persetujuan korban itu sendiri.
Data-data ini digunakan untuk mengancam korban dengan tujuan pelecehan atau intimidasi, bahkan bisa dalam bentuk modus untuk mendapatkan uang atau sekadar balas dendam semata.
Melansir dari Harian Aceh (01/12/2020), ada laporan dari Kepala Sekolah SMP di Kabupaten Aceh Barat dimana beberapa oknum meminta beberapa pelajar untuk telanjang dalam sebuah grup media sosial.
Semakin lama, semakin banyak yang yang akan didapat. Oknum kemudian melanjutkan misinya dengan menjadikan pelajar tersebut sebagai pemuas nafsu bejat lelaki hidung belang secara offline juga.
Tidak hanya itu, iNews.id (13/06/2020) menyebutkan bahwa seorang guru SMP di Bojonegoro memaksa 25 gadis untuk foto telanjang, lalu foto tersebut diperjualbelikan online untuk menghasilkan uang. Pelaku baru berhasil diringkus sesudah menyetubuhi tiga gadis diantaranya.
Tidak hanya dengan paksaan, karena bujuk rayu seorang pria melalui media sosial Facebook, 14 remaja putri rela kirim foto dan video bugil. Melansir dari Liputan6 (26/08/2020), foto dan video ini kemudian dijadikan sebagai ‘jaminan’ untuk tidak melaporkan terhadap pihak berwajib. Beberapa foto telah disebar karena sebagian korban tidak ingin mengirimkan foto bugil lagi kepada pelaku.
Tidak hanya kasus-kasus seperti di atas, banyak sekali oknum yang dengan mudahnya mengirimkan pesan berbau seksual kepada anak-anak di bawah umur maupun orang lain yang dikenal maupun tidak lewat media sosial seperti comment atau direct message di Instagram.
Ucapan-ucapan tidak berdasar ini merupakan bentuk kekerasan seksual secara online yang sering tidak disadari orang lain. Mengapa? Karena pasti akan memberikan dampak kepada korban sekecil apapun itu yang dapat mempengaruhi hidup maupun kesehatan mentalnya.
Dokumen Rilis Pers SAFEnet 2021 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) juga menyebutkan beberapa dampak dari pelecehan seksual yang terjadi. Korban KBGO dapat mengalami kerugian psikologis seperti kecemasan, ketakutan, dan bahkan depresi berlebihan.
Para korban yang disebar konten pribadinya dapat mengalami keterasingan sosial yang membuat korban malu di depan umum sehingga mobilitas dari korban menjadi terbatas, di mana korban menjadi takut untuk bertemu orang lain, kehilangan kepercayaan, mengunci diri sendiri, dan pada akhirnya dapat berujung kepada kematian karena kesehatan mental yang terganggu,
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menghindari KBGO sendiri?
Pertama, mulai dengan melindungi privasi diri. Pisahkan akun pribadi dengan akun publik sesuai dengan kebutuhan diri. Pastikan pengaturan privasi berfungsi dengan baik.
Ciptakan password yang kuat dan jaga kerahasiaan pin atau password. Hindari pemakaian aplikasi pihak ketiga maupun menyerahkan password kepada orang lain.
Terakhir, yang paling penting, adalah dengan menghindari berbagi lokasi real time. Selalu berhati-hati dengan berbagai jenis URL atau link terutama yang dipendekkan dan jangan lupa untuk memastikan apakah kamera maupun mic menyala di smartphone maupun laptop.
Bagaimana jika menjadi korban? Dokumen Rilis Pers SAFEnet 2021 juga memberi beberapa saran apabila menjadi korban dari KBGO sendiri. Selalu dokumentasikan hal-hal yang terjadi dan dilakukan oleh pelaku, lalu blokir media sosial pelaku. Kemudian, laporkan pelaku kepada Komnas Perempuan lewat telepon di 021-3903963 atau 021-80305399 maupun surel ke mail@komnasperempuan.go.id.
Kekerasan berbasis Gender Online (KBGO) bukan tentang perempuan saja, maupun laki-laki saja. Bukan tentang korban atau pelaku saja. Ini tentang kita dan hak sebagai seorang manusia.
Jangan lagi memalingkan wajah dari kasus pelecehan seksual seperti ini. Lindungi diri dan orang sekitar dengan terus memperhatikan hukum dan prosedur yang berlaku. Jika mengalami hal seperti ini, segera laporkan kepada pihak yang bertanggung jawab dan ceritakan kepada orang terdekat yang bisa dipercaya apabila terasa berat untuk dipendam sendiri. Your feelings and needs matter, even how little it is.
(Penulis: Patricia Kresnauli, Departemen Sosial Masyarakat BEM IM FKM UI)
0 Komentar