SAYA menjadwalkan untuk kembali ke pulau Traling. Sebuah pulau kecil yang sudah ditinggalkan penduduknya. Kali ini dengan membawa perangkat dokumentasi dan tim yang lebih lengkap. Ada Rizka Arsinta, gadis yang masih belia. Ini melengkapi rombongan ‘anak-anak muda’, selain saya, di tim dokumenter ini.
Pak Madi, pemandu sekaligus tekong boat pancung yang akan mengantar kami juga sudah diberitahu. Kami berangkat lagi Sabtu (1/10/2022) kemarin.
“Waduh, hujan. Udah dekat pula ini”, kata saya ke Domu, produser di produksi ini.
Saat hujan tumpah, mobil yang kami tumpangi baru saja melintas di bendungan Duriangkang, menuju arah kampung tua Teluk Lengung.
Sejak awal, saya sudah khawatir hujan bakal turun. Mendung sudah begitu bergayut di langit rumah sesaat sebelum berangkat.
“Kita ke rumah pak Madi dulu aja, pak. Koordinasikan cuaca ini, sekaligus nunggu reda. Semoga gak lama”, kata Domu.
Anak saya Yodha dan Rizka, lebih banyak diam saat tahu rencana mungkin sekali batal karena cuaca tidak mau berteman dengan kami.
Mobil yang kami tumpangi terus bergerak ke arah kampung tua Teluk Lengung. Hujan semakin deras dan wiper mobil perlu dihidupkan.
“Sedang pasang tinggi sekarang, bagus sebetulnya. Tapi hujan deras sekali”, kata pak Madi begitu kami tiba di rumahnya.
Ia juga tampak gusar. Pak Madi melihat keluar rumah. Hujan deras belum reda.
Kami dipersilahkannya untuk masuk dulu ke rumahnya yang sederhana. Hampir tidak ada perabot kecuali satu set sofa tua yang sudah memudar warnanya. Di situ kami duduk, berteduh sambil berharap hujan segera reda.
“Biasanya, apa kegiatan pak Madi kalau siang begini?” tanya saya.
“Tak ada, paling tunggu surut di sore, terus periksa jala pantai yang saya pasang”, katanya.
Pak Madi lalu bercerita, dua hari lalu, saat kami bersamanya ke pulau Traling, ia memeriksa hasil jala pantai yang dipasang, setelahnya.
“Lumayan, pak. Dapat segini”, katanya sambil mengeluarkan sebuah kertas tandaterima dari seorang tengkulak pengumpul hasil tangkapan laut para nelayan di sini.
Dua hari lalu, dari jala pantai yang dipasang pria itu, ia berhasil mengumpulkan ikan lebam, kitang-kitang dan kerapu. Dapat beberapa kilogram saat ditimbang. Ia mendapat bayaran sekitar Rp. 600 ribu dari hasil penjualan.
“Wah, besar. Itu satu hari? Sepertinya kita jadi nelayan aja, pak”, kata Domu ke saya begitu melihat kertas yang dipegang pak Madi.
“Tak selalu segitu”, kadang hanya Rp.300 ribu, kadang malah tak ada”, lanjut pak Madi sambil tersenyum.
Cerita pak Madi, hampir sebagian besar nelayan di kawasan kampung tua Teluk Lengung ini mengandalkan penggunaan jala pantai, kelong dan bubu untuk mendapatkan hasil tangkapan laut. Itu berarti, mereka tidak perlu beraktifitas melaut terlalu jauh dari perairan teluk kecil yang tenang itu.
“Apa itu artinya Lengung”, tanya saya ke pak Madi.
“Lengung itu seperti lengang, ya? Tenang, sepi?” Lanjut saya.
“Tak tau saya. Dari dulu namanya begitu”, jawab pak Madi.
“Kalau di sebelah sana tu, namanya Teluk Mambang”, lanjut pak Madi sambil menunjuk sebuah teluk kecil lain yang berdampingan dengan Teluk Lengung.
Kawasan Teluk Lengung dan Teluk Mambang di pesisir Batam sempat terisolir dari mobilitas darat masyarakat umum sampai beberapa tahun lalu. Sekarang, sudah ada jalan aspal yang representatif, menghubungkan kampung tua itu hingga ke ruas jalan besar di kawasan Telaga Punggur. Pemerintah kota membangunkannya beberapa tahun lalu.
Secara tata pemerintahan, kawasan Teluk Lengung masuk dalam kelurahan Kabil di kecamatan Nongsa. Wilayah kawasan di sekitar ini sebenarnya terbagi dua. Wilayah kampung Teluk Mambang adalah kampung lain yang terletak bersebelahan dengan kampung Teluk Lengung. Namun, suasana perkampungan warga pesisir tradisional, lebih terlihat di kampung Teluk Lengung.
Teluk Lengung adalah sedikit bagian cerita masa lalu Batam yang masih tersisa. Lokasinya yang sekarang berada di pinggiran DAM Duriangkang. Dulu, lokasi itu jadi salah satu pintu masuk bagi warga yang ingin berlabuh di kawasan Duriangkang yang sekarang sudah dibendung.
“Eh, mulai reda”, kata Rizka yang sedari tadi menyimak pembicaraan kami.
“Gimana, pak?” tanya saya ke pak Madi.
“Boleh, saya siapkan boat dulu”.
SUARA mesin boat menderu pelan. Kami memang tidak ingin cepat-cepat sampai ke tujuan. Pak Madi ingin membawa kami ke lokasi jala pantai yang dipasangnya.
Ia menempatkan jala sepanjang kurang lebih 30 meter di sisi hutan bakau yang masih tersisa di kawasan ini. Kondisi pasang tinggi air laut sekarang, membuat jala pantai pak Madi hanya terlihat ujung-ujungnya saja, terkait dengan tonggak-tonggak kayu yang menjaganya agar tidak hanyut.
“Jala-jala ini saya beli di Jodoh (Sei Jodoh, pen). Sekilo harganya Rp.300 ribu. Sepanjang ini butuh 10 kilo,” kata pak Madi sambil mengemudi di belakang boatnya.
Selain jala pantai, pria paruh baya itu juga memasang beberapa jaring bubu di perairan teluk yang tenang ini.
“Kita ke Sekenah dulu, ya. Seperti kemarin. Izin dulu dengan penduduk di sana sebelum ke Traling”, katanya.
Pulau Sekenah yang disebut pak Madi, sekarang dihuni 3 Kepala Keluarga (KK) saja. Sama seperti pulau Traling yang terletak di hadapan, dahulu pulau itu cukup banyak dihuni orang. 3 KK tersisa di sana sekarang, masih berkait saudara satu sama lainnya.
Ada sepasang suami istri tua berusia 85 dan 78 tahun, anak dan suaminya serta sepasang muda dengan satu anak yang merupakan cucu dan cicit dari suami istri lansia tersebut.
“Nah, kita sudah sampai. Naik dulu (ke pelantar, pen) di sini,” kata pak Madi saat boat yang kami tumpangi tiba di ujung pelantar pulau Sekenah.
Rombongan kami ditemui Arif. Salah satu penghuni pulau Sekenah yang tersisa. Arif adalah seorang pendatang yang menetap di sini karena menikah dengan Kesi, seorang wanita asli pulau Sekenah.
Penghuni lain adalah Tok Bokti (85 tahun) dan istrinya, Neti (78 tahun). Keduanya adalah kakek dan nenek dari Kesi. Kemudian, keluarga ketiga yang mendiami pulau ini adalah keluarga anak dari Tok Bokti dan nek Neti.
“Cuma 3 KK di sini. Semua bersaudara”, kata Arif.
Mereka tinggal di pesisir pulau Sekenah dengan rumah berbentuk panggung di atas pelantar. Tidak ada fasilitas umum seperti halnya mushala di pulau Traling yang sudah ditinggalkan penduduknya.
“Ada dua sumur di sini yang kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Alhamdulillah cukup”, kata Arif sambil mengajak kami berjalan lebih ke dalam pulau.
Selain memanfaatkan hasil laut untuk sumber penghasilan, Arif yang merupakan pria paling muda di sini juga mengupayakan budidaya ikan melalui keramba apung, persis di ujung pelantar. Ia juga beternak ayam. Ada kandang-kandang ayam yang sengaja dibuatnya sekitar 10 meter dari bibir pelantar.
“Sumur ini sudah sangat lama digunakan warga di sini. Ada mata airnya sehingga untuk memenuhi kebutuhan air bersih 3 kepala keluarga di sini masih mencukupi”, kata Arif.
“Waktu masih ramai orang tinggal di sini, tak cukup air di sumur ni. Dulu hampir 30 KK yang tinggal di sini, termasuk saya”, sambung pak Madi yang ikut mendampingi kami. Arif membenarkannya.
Bagaimana dengan listrik?
3 KK di pulau Sekenah ini ternyata memanfaatkan sumber listrik gratis dari matahari sejak beberapa tahun ini. Arif yang sarjana teknik, mengupayakan pembuatan pembangkit listrik mikro berbasis tenaga Surya.
Ada lima panel tenaga Surya yang diletakkan persis di sebelah rumah mereka untuk menyuplai energi listrik bagi 3 KK yang mendiami pulau ini selama 24 jam setiap hari. Masing-masing berdaya 1100 Watt.
“Kami juga menyiagakan genset. Tapi sangat jarang dipakai. Untuk jaga-jaga saja”, katanya.
Kemampuan panel-panel surya di sebelah rumahnya untuk menyimpan energi matahari juga terbilang baik. Menurut Arif, jika cuaca sedang tidak baik dan hujan turun terus menerus, panel-panel surya tersebut masih mampu menyuplai listrik selama 3 hari.
“Ayo masuk ke dalam rumah. Saya kenalkan dengan Atok dan nenek saya”, katanya.
Kami kemudian dibawa ke bagian belakang rumah. Sudah ada istrinya, Kesi yang menyiapkan minuman teh hangat.
Hujan gerimis kembali turun di pulau Sekenah.
Tok Bokti terlihat sedang tertidur pulas di lantai papan. Menurut Arif dan Kesi, sudah beberapa tahun ini kakeknya itu tidak bisa lagi melihat. Namun, perawakannya masih cukup sehat untuk orang berusia 85 tahun sepertinya.
Tok Bokti adalah anak dari orang yang pertama sekali mendiami pulau Sekenah, seorang pria yang dipanggil keluarga ini sebagai Atok Tanda, hampir seratusan tahun silam. Sementara istrinya, nek Neti, adalah warga pulau Traling. Pulau di seberang Sekenah yang sekarang sudah kosong ditinggalkan penduduknya.
Kami lebih banyak berbincang dengan nek Neti. Walau usianya sudah uzur, daya ingatnya lumayan kuat. Tapi, penyakit paru-paru menggerogoti tubuhnya yang kini terlihat sangat kurus.
Nek Neti dan suami-lah yang bersikeras untuk tetap mendiami pulau Sekenah, walau warga lain memilih untuk pindah dari pulau kecil itu. Keteguhan hati pasangan lansia itu akhirnya meluluhkan hati anak dan cucu-nya yang kemudian memilih untuk tetap tinggal di sini sambil merawat pasangan lansia ini.
“Nama Sekenah ni, katanya berasal dari kata ‘nah’ yang dalam bahasa Melayu berarti memberi”, katanya.
Cerita dari suaminya, sang mertua -tok Tanda- yang diketahui merupakan orang yang mendiami pulau ini pertama kali, dikenal sebagai seorang dermawan dan suka memberi. Orang kemudian mengenal pulau yang didiami oleh tok Tanda sebagai pulau Sekenah.
“Tapi di google, ada kesalahan nama untuk pulau ini. Nama yang tertera adalah pulau Sekerah”, tambah Arif yang duduk di sebelah nek Neti sambil tersenyum.
Hujan mulai reda kembali. Kami pamit dari pulau Sekenah untuk melanjutkan perjalanan menuju pulau Traling yang kini sunyi.
ANAK saya, Yodha, turun duluan begitu boat yang dikemudikan pak Madi sampai di bibir pantai pulau Traling. Ini kedatangannya yang kedua kali di pulau sunyi ini.
“Hari ini kita melintas di pulau ini sampai ke bekas perkampungan lama warga Traling yang berhadapan dengan kampung Bagan ya,” kata saya.
Kami kembali melihat rumah-rumah kosong yang sudah ditinggalkan penduduknya di pulau ini. Sebagian masih utuh tapi makin lapuk, banyak juga yang sudah tinggal puing-puing saja.
Kontur pulau Traling tergolong datar dengan ketinggian 1 hingga 8 meter saja dari permukaan laut. Saat air sedang pasang tinggi seperti sekarang, bagian agak ke tengah dari pulau Traling digenangi air. Ketinggiannya sekitar betis orang dewasa.
Ada bekas pembangunan jalan kampung dari paving blok yang rencananya bakal menyambungkan lokasi pemukiman lama warga Traling yang berhadapan dengan kampung Bagan dan pemukiman sekarang di hadapan pulau Sekenah. Sepertinya ini proyek pembangunan dari pemerintah. Tapi sayang tidak sampai selesai. Warga Traling memilih untuk meninggalkan pulau kecil ini.
Pak Madi memimpin perjalanan rombongan melintas pulau ini.
“Sudah berkali-kali usaha mencari sumber air bersih dilakukan warga di sini. Menggali sumur. Tapi, tak ketemu. Cuma sumur itu saja yang ada airnya”, kata pak Madi di perjalanan, saat melintasi sebuah sumur tua yang sempat jadi sumber kehidupan warga Traling masa lalu.
Lebar sumur yang sempat digunakan bersama oleh warga di sini sekitar dua meter dengan kedalaman 3 meter. Jika hujan tidak turun, sumur dimaksud hanya bisa bertahan selama satu minggu untuk mencukupi kebutuhan air warga Traling. Selebihnya, mereka terpaksa mencari dan membawa air bersih dari lokasi lain.
Ada yang cukup menarik di pulau ini. Sepanjang perjalanan, ada satu jenis pohon khas kepulauan yang mendominasi. Hamparan pohon teruntum (Lumnitzera racemosa) yang hidup di wilayah mangrove, anggota suku Combretaceae. Pohon Teruntum tumbuh subur di sini hingga jarak 500 meter dari bibir pantai.
“Ini pohon apa, kok banyak di sini?” Kata Rizka penasaran.
Pak Madi menyebut tanaman yang menghampar banyak tersebut dengan nama pohon sersup. Daunnya kecil-kecil dan banyak.
“Ini sersup, kalau besar batangnya biasa dibuat untuk pancang-pancang rumah di laut. Kayunya kuat”, katanya.
KAMI sampai di sisi lain dari pulau Traling ini setelah berjalan kaki selama 20 menit. Di depannya, terlihat daratan Batam.
“Itu kampung Bagan. Dulunya, warga di Traling ini tinggal di sisi yang berhadapan dengan kampung Bagan ini. Tapi kemudian pindah ke sisi lain yang berhadapan dengan pulau Sekenah di sana”, terang pak Madi begitu kami tiba di sisi lain pulau Traling.
Waktu sudah menunjukkan pukul 14.35 Wib. Rintik hujan juga mulai kembali turun. Kami harus segera bergegas kembali ke titik awal pendaratan melalui jalur awal yang kami lewati.
Itu sebenarnya jalur yang sudah diberi paving blok oleh pemerintah. Namun sayang, sudah banyak tertutup semak yang semakin rimbun. Sejak pulau ini ditinggalkan penduduknya bertahun-tahun lalu, alam mulai bekerja mengembalikannya ke kondisi semula, liar dan alami lagi.
Sisa kehidupan di sini bisa dilihat dari rumah-rumah kosong milik warga yang mulai lapuk termakan usia. Atau, makam-makam tua yang banyak tersebar di sepanjang jalur paving blok yang kami lalui.
Warga pilih meninggalkan pulau ini, selain karena minimnya sumber air bersih, mungkin juga karena ketimpangan pembangunan dengan pulau utama, Batam.
Pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan masih buruk.
BURUKNYA pembangunan yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan, menurut Peneliti DFW-Indonesia Subhan Usman seperti dinukil dari situs mongabay, bisa terjadi karena Pemerintah belum bisa membedakan strategi pembangunan perbatasan Indonesia yang berbasis darat dan laut atau pulau-pulau kecil.
“Penelitian kami di pulau kecil terluar berpenduduk, menemukan bahwa kemiskinan yang terjadi dikarenakan keterbatasan akses dan minimnya pilihan hidup masyarakat,” kata Subhan Usman di situs itu.
Di saat pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdepan berjalan di tempat, Pemerintah justru melakukan eksploitasi kawasan tersebut melalui pengembangan pariwisata yang didesain untuk menjadi kawasan unggulan di masa mendatang.
Menurut Subhan, kebanyakan proyek pengembangan tersebut, dibuat dengan menggunakan dana yang berasal dari utang luar negeri.
Sementara itu, sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di laman yang sama menyebut, pembangunan yang masuk dalam Proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) itu bisa mengancam kehidupan masyarakat pesisir.
Di Batam sendiri, ada 329 pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya. Jauh sebelum dikembangkan sebagai pusat industri yang berkembang menjadi kawasan perdagangan bebas, Kota Batam hanyalah pulau-pulau sepi dengan jumlah penduduk yang sedikit. Sebagian besar menetap di kawasan pesisir pantai. Ada juga yang tinggal di pulau-pulau kecil sekitarnya.
Seiring berkembangnya Batam, masyarakat
yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut, ada yang terpinggirkan dalam proses industrialisasi. Kesenjangan infrastruktur semakin besar.
Seperti yang terjadi di pulau Traling yang kami datangi. Pulau itu sekarang ditinggalkan penduduknya yang ingin mencari kehidupan yang lebih baik di tempat lain. (*)
Sumber : bintorosuryo.com
0 Komentar