KPK melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menggunakan kendaraan dinas operasional untuk kepentngan pribadi termasuk mudik.
“Kepada pimpinan instansi atau lembaga pemerintah agar melarang penggunaan fasilitas dinas seperti kendaraan dinas operasional untuk kepentingan pribadi pegawai untuk kegiatan mudik, mengingat fasilitas dinas seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan terkait kedinasan,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (4/5) kemarin.
Sebelumnya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Asman Abnur sempat menyampaikan usulan mengenai penggunaan bus kementerian/lembaga negara dapat digunakan untuk mudik bagi PNS rendahan dengan biaya bensin dan perawatan ditanggung sendiri.
“(Penggunaan kendaraan dinas) merupakan bentuk benturan kepentingan yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pejabat publik, pegawai negeri dan penyelenggara negara,” tambah Agus.
Pimpinan kementerian/lembaga/organisasi/pemerintah daerah dan BUMN/BUMD juga diharapkan dapat memberikan imbauan secara internal kepada pejabat dan pegawai di lingkungan kerjanya untuk menolak pemeberian gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
“Dan menerbitkan surat terbuka/iklan melalui media massa/bentuk pemberitahuan publik yang ditujukan kepada `stakholder`-nya agar tidak memberikan pemberian dalam bentuk apapun kepada para PNS atau penyelenggara negara di lingkungan kerjanya,” ungkap Agus.
Agus juga berharap agar pimpinan perusahaan atau korporasi meningkatkan kesadaran dan ketaatan dengan tidak memberiakn sesuatu serta menginstruksikan kepada semua jajarannya untuk tidak memberikan gratifikasi, uang pelicin atau suap dalam bentuk apa pun kepada PNS atau penyelenggara negara berhubungan dengan jabatannya.
“Bahwa permintaan dana, sumbangan dan atau hadiah sebagai Tunjangan Hari Raya (THR) tau dengan sebutan lain oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara atau institusi negara atau daerah kepada masyarakat dan atau perusahaan baik lisan maupun tertulis dilarang karena penyalahgunaan wewenang merupakan perbuatan yang berimplikasi tindak pidana korupsi yang dapat diberikan sanksi sesuai peraturan perundangan,” jelas Agus.
Gratifikasi menurut penjelasan pasal 12B UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi meliputi pemberian uang, barang, rabat (potongan harga), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya kepada setiap pegawai negeri dan pejabat penyelenggara negara.
Bagi mereka yang terbukti menerima gratifikasi terancam pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
(*)
0 Komentar