GUNA mempercepat perwujudan pengembangan Pulau Batam, Pertamina yang juga diserahi tugas mengongkosi finansial proyek pengembangan pulau Batam pada masa silam, membuat kajian masterplan (rencana induk) pada tahun 1972.
Dalam penyusunan masterplan Batam yang pertama ini, Pertamina menggandeng konsultan Nissho Iwai Co. Ltd dari Jepang serta Pasific Becthel Inc dari Amerika Serikat.
Hasil kajian ini merekomendasikan strategi pembangunan Batam yang bertitik berat pada industri eksplorasi minyak dan gas serta pusat pemrosesan produk ikutannya, yakni pusat industri petroleum dan petrokimia. Awal dasawarsa 1970-an sektor minyak memang sedang menjadi primadona karena harga minyak di pasar dunia sangat kuat.
Di samping itu, posisi geografis Batam yang terletak di simpang jalur lalu lintas Asia Barat-Asia Timur, sangat strategis untuk dapat menarik manfaat dari jalur distribusi minyak yang ada.
Hanya saja, kajian Nissho Iwai-Pasific Becthel ini tak terealisasi, padahal lokasi Batam sangat memungkinkannya.
Tiga puluh tahun kemudian, Singapura, justru membuktikan kebenaran substansi kajian Nissho Iwai-Pacific Bechtel. Dengan konsistensi kebijakannya di sektor industri petroleum, negara pulau itu berhasil menempatkan dirinya sebagai oil-refinery center terbesar ketiga dunia. Padahal, Singapura samasekali bukan negara produsen minyak.
MEMASUKI tahun 1973, guna memantapkan langkah pengembangan Pulau Batam, Presiden Soeharto kala itu mengeluarkan Keppres No. 41/73. Keppres ini menetapkan Pulau Batam sebagai lingkungan kerja daerah industri dan Ibnu Sutowo dikukuhkan sebagai Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB).
Sementara wilayah pembangunan ini meliputi Pulau Batam, Pulau Janda Berhias, Pulau Ngenang, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Moi-moi dan Pulau Kasem.
Sebagai badan pemerintah yang bertanggungjawab atas pengembangan pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam, maka berdasar Keppres tersebut, OPDIPB mempunyai tugas sebagai berikut:
Pembentukan OPDIPB ini sendiri, baik langsung maupun tidak langsung memberi benefit bagi para investor. Lantaran keberadaan Otorita Batam pada hakekatnya adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat di mana secara keseluruhan memiliki keunggulan-keunggulan seperti anggaran langsung dari pusat.
Itu maknanya, nilai anggaran sama sekali tidak bergantung pada APBD. Keberadaan Otorita Batam ini sekaligus memangkas jalur birokrasi yang kerap dikeluhkan para investor. Dengan perizinan yang satu atap serta berbekal fasilitas yang wewenang pusat (pajak,fiskal & moneter), Otorita Batam dapat lebih cepat serta responsif melayani berbagai keperluan yang dibutuhkan para investor.
UNTUK menunjang pertumbuhan Batam sebagai daerah industri, pemerintah lalu mengeluarkan Keppres Nomor 33 Tahun 1974 yang pada intinya menetapkan tiga wilayah (kawasan) di Batam menjadi bonded warehouse.
Tiga wilayah tersebut masing-masing adalah wilayah di bagian Timur Pulau Batam, wilayah di daerah Batu Ampar serta wilayah di daerah Sekupang, bagian Barat Pulau Batam.
Namun dalam aplikasinya, penerapan materi yang ada dalam Keppres ini tidak berjalan mulus.
Sebab, tak lama setelah itu mencuat krisis Pertamina yang nyaris menghancurkan perusahaan minyak milik negara tersebut. Untuk meneruskan roda pembangunan di Batam yang sempat stagnan akibat krisis Pertamina tersebut, Pemerintah Pusat lalu mengambil inisiatif dengan mengganti kepemimpinan pembangunan Pulau Batam dari Ibnu Sutowo ke JB Sumarlin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penertiban Aparatur Negara (Keppres Nomor 60/M/1976).
JB Sumarlin sendiri, paska mendapat mandat Presiden Soeharto langsung melakukan review serta menganalisa landasan dasar pengembangan Batam. Dengan tim bentukannya, JB Sumarlin menginventarisasi seluruh proyek infrastruktur yang dilakukan Pertamina di Batam.
Bergerak cukup taktis, sejumlah proyek strategis mulai dikembangkan kembali, seperti pembenahan pelabuhan Kabil serta Batuampar.
Tahun 1978, masa tugas JB Sumarlin sebagai Ketua Otorita Batam berakhir. Selanjutnya, kepemimpinan Batam diteruskan oleh BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi RI.
Secara umum, kondisi infrastruktur di Pulau Batam pada tahun 1978 ini masih minim. Saat itu belum ada penerbangan langsung menuju Batam.
Untuk mencapai Batam, orang dari luar pulau ini harus naik pesawat ke Singapura terlebih dahulu baru setelahnya naik ferry menuju ke Batam. Atau bisa terbang ke Tanjungpinang, dan meneruskan perjalanan ke Batam menggunakan perahu pompong yang memakan waktu tidak kurang dari lima jam.
(*)
Seperti ditulis Joki Muchayar, seorang mantan pegawai Otorita Batam di blognya : jokimuchajar.blogspot.com
Photo cover : Peninjauan proyek Pertamina oleh presiden Soeharto di Batam tahun 1973, foto : © dok Otorita
0 Komentar