JIKA masih hidup, tahun ini, Suharto berusia 99 tahun. Seorang penerjemah yang ditunjuk pihak Jerman dalam masa-masa pertemuan presiden kedua Republik Indonesia itu dengan pemerintah Jerman, Berthold Damshäuser, berbagi kisah pengalamannya.
Kepada Deutsche Welle Damshäuser menceritakan mulai dari pertemuan awal yang dianggap mencurigakan, ‘benda ajaib’ di kamar hotel Suharto di Jerman, hingga perasaan bekas orang nomor satu di Indonesia itu tentang Habibie. Mengapa pula Damshäuser begitu gemas, hingga ingin agar Suharto lebih banyak membaca buku?
DW: Bisa diceritakan awal jumpa Anda dengan Suharto dan pengalaman unik apa yang Anda rasakan saat itu?
Damshäuser: Pada tahun 1991, ketika pertama kali bertemu Suharto, dulu ibu kota Jerman adalah Bonn. Pertemuan pertama di Bukit Petersberg, di wisma negara. Saat itu ada pertemuan dengan menteri luar negeri Jerman, Hans-Dietrich Genscher. Waktu saya mau masuk ke ruangan yang disediakan untuk pembicaraan itu, ternyata petugas keamanan Indonesia tidak mengizinkan saya masuk ke ruangan. Pihak Indonesia cukup curiga dan waspada terhadap yang belum dikenal oleh mereka. Petugas keamanan bahkan angkat tangan dan saya tidak boleh masuk, saya bingung.
DW: Karena Anda ditunjuk oleh pihak Jerman?
a. Ditugaskan pihak Jerman. Pihak Indonesia membawa penerjemah sendiri. Tapi penerjemah (dari pihak Indonesia) itu hanya menguasai bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Saya tidak berhasil masuk saat itu dan pembicaran sudah dimulai. Tiba-tiba sekretaris Menlu Jerman keluar dan mengatakan ini penerjemah kami! ‘Dia harus bisa masuk,’ katanya. Akhirnya pihak keamanan mengalah, (dan) saya bisa masuk. Melihat saya, Menlu Jerman langsung ganti dari bahasa Inggris ke bahasa Jerman. Dia memberi tanda ‘Ayo duduk di antara saya dan Pak Harto‘. Dan penerjemah Indonesia itu harus minggir dan memberi tempat bagi saya. Dan pembicaraan seterusnya tentu dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Saya masih ingat, saya cukup gugup karena suasana itu terasa tegang. Pembicaraan berlanjut seperti biasa tetapi sedikit terganggu karena adegan tadi. Nah, ketika pembicaraan usai, Pak Harto menyuruh semua orang keluar dan mau duduk bersama saya, bicara empat mata dengan penerjemah yang ditugaskan pihak Jerman (ini). Dia ingin tahu siapa saya. Terjadi pembicaran selama sekitar 10 menit. Dia bertanya tentang latar (belakang) saya. Saya ceritakan bahwa saya punya istri orang Jawa. Pokoknya cukup santai dan akrab pembicaraan itu. Setelah itu Pak Harto mulai mempercayai saya. Ternyata ada hubungan simpatik antara kami berdua. Setelah itu segalanya cukup lancar, Pak Harto merasa sreg dengan saya.
DW: Waktu Suharto dulu berkunjung ke Jerman, bagaimana pelayanan terhadap dia dan rombongan? Fasilitas seperti apa yang ia dapat di Jerman? Sangat mewahkah? Apa yang paling mencolok bagi Anda?
Sebagai tamu negara tentu presiden diberi akomodasi dan pelayanan yang layak. Pak Harto menginap di wisma negara, tentu di suite, atau di hotel-hotel lain bintang lima. Dia bawa pembantu-pembantu sendiri yang melayani dia. Pokoknya akomodasi yang paling bagus. Rombongan juga selalu di hotel itu, rombongan cukup besar, istrinya Ibu Tien juga ikut. Yang saya ingat, jika tidak salah di Dresden, Pak Harto mengundang saya untuk sarapan bersama di suite-nya. Saya masuk. Ada sebuah kamar sebelum masuk ke kamar dia, saya melihat sebuah kompor. Seperti kompor piknik. Saya bertanya kepada orang Indonesia, pembantunya, kompor itu untuk apa? Kata mereka, itu untuk masak Supermie. Ternyata bahwa presiden Indonesia suka juga makanan sederhana seperti itu. Itu lepas dari akomodasi dari yang disediakan pihak Jerman. Dia tahu tak akan diberi makanan seperti itu, jadi dia bawa sendiri.
DW: Anda sendiri juga berkunjung ke kediamannya di Cendana, Jakarta, apa kesan Anda ketika melihat dekat kediaman Suharto? Hal apa yang menarik di rumah itu?
Saya kenal beberapa orang kaya di Jakarta, dibandingkan rumah mereka rumah Pak Harto cukup sederhana. Tidak terlalu besar. Walaupun saya hanya sempat melihat ruang tamu, ruang untuk pembicaraan. Kesan kemewahan tidak terlalu besar. Pernah ke Jalan Cendana?
DW: Belum, makanya saya tanya kepada Anda….
Rumah presiden Indonesia kelihatan sederhana dan tidak terlalu mewah. Tentu ruangan cukup bagus. Ada suasana Jawa di rumah itu, ada patung Garuda, ada keris, tentu hal itu sudah bisa diduga yang lucu justru seorang pembantu Pak Harto yang saya ketemu sebelum masuk. Saya bertanya, bagaimana rasanya menjadi pembantu Pak Harto? Orangnya menjawab, wah itu susah juga. Bapak itu aneh. Ada kamar kerjanya yang atapnya bocor, dan air hujan masuk ke situ. Kami ingin memperbaiki semuanya, tapi Bapak itu tidak mau, terpaksa kami pasang ember-ember di situ, untuk menampung air bocor. Kemudian si pembantu cerita, akhirnya mereka berhasil merenovasi kamar dan atap itu. Mereka melakukannya secara diam-diam, saat Suharto mengadakan kunjungan dinas ke luar negeri.
DW: Setelah Suharto tak lagi berkuasa, Anda kan masih sempat ketemu dengan dia lagi, sempat mengobrol apa saja dan apa perasaan Anda yang paling mendalam setelah Suharto tidak menjabat lagi sebagai presiden?
Saya masih sempat bertemu, kalau tidak salah bulan Juli tahun 1998. Kami berbicara sejam dan saya bertanya bagaimana perasaan beliau setelah terpaksa mengundurkan diri? Tapi yang saya ingat biasa saja. Ia tidak cenderung terbuka pada orang lain, mungkin jika ke anak istri berbeda. Jadi, dia tidak mau menyampaikan apa yang dia rasakan. Saya ingat, saya bertanya tentang anak buahnya. Bagaimana kesan beliau tentang Habibie. Waktu itu dia agak serius. Mukanya kelihatan berubah dan cuma (jawab) satu kalimat: ‘Habibie membiarkan saya dihujat’.
DW: Anda juga sempat bertanya tentang keluarganya?
Pembicaraan berlanjut dan saya dengan kenekatan besar berani bertanya tentang anaknya Pak Harto. Ingin tahu sebenarnya. Apa sikapnya terhadap posisi anak-anak dalam masyarakat. Kira-kira saya bertanya mengapa Pak Harto begitu mendukung putra dan putrinya untuk meraih posisi yang tinggi di Indonesia. Anaknya Mbak Tutut sempat menjadi menteri sosial. Ditanya mengenai anak-anaknya, dia merasa ada kritik dalam pertanyaan saya dan dia menjawab dalam satu kalimat: ‘Mereka pengusaha kok‘. Setelah itu suasana berubah, tidak sesantai dulu. Kesan saya, dia kecewa karena saya berani bertanya mengenai hal-hal seperti itu dan itu pembicaraan kami yang terakhir. Kemudian saya tidak lagi diundang ke Cendana. Biasanya kalau saya ke Indonesia saya beritahu kepada sekretarisnya bahwa saya sudah tiba di Indonesia. Sering satu dua hari setelah saya beritahu, ada undangan. Tapi ya itu, setelah pembicaraan terakhir itu, tidak terjadi lagi. Kesan saya Pak Harto sangat peka dan menganggap pertanyaan ke arah itu sebagai sebuah kekurangajaran. Sayang sekali karena saya ingin tahu apa yang melatari sikapnya yang sangat mendukung anak-anaknya dalam masyarakat Indonesia.
DW: Bagaimana dengan putra-putrinya, apakah akan menjadi klan Cendana baru?
Sejauh saya amati peluang mereka tidak begitu besar. Kemungkinnya kecil. Saya rasa didukung oleh partai besar saja, cukup sulit. Perkiraan saya, itu mustahil. Mereka juga bukan tokoh-tokoh yang diperlukan bangsa Indonesia sekarang. Saya kira upaya itu, kalau memang ada, tidak akan berhasil.
DW: Banyak kritik selama ini atas kepemimpinan Suharto yang dinilai ‘bertangan besi`, bagaimana pandangan terhadapnya di Jerman dan Anda sendiri?
Penilaian di Jerman terhadap Suharto rata-rata negatif, terutama di kalangan saya sendiri, Indonesianis, sangat negatif,. Orde Baru disebut diktator militer. Rakyat Indonesia seolah-olah sangat menderita di bawah pemerintahannya, terutama terkait peristiwa 1965 (G30S) dan penumpasan komunisme, soal Timor-Timur dan Aceh. Soeharto dinilai sebagai orang yang begitu kejam, tidak menghargai HAM, dan juga sebagai koruptor. Kadang sulit juga bagi saya untuk menyampaikan kepada mahasiswa (di Jerman, ed: Damshäuser adalah dosen di Universitas Bonn, Jerman) sebuah gambaran yang lebih objektif. Kalau kita melihat Orde Baru, perkembangan ekonomi cukup positif. Jumlah orang di bawah kemiskinan berkurang dan ada swasembada beras, dan sebagainya. Terutama ada juga stabilitas. Stabilitas baru kita hargai, jika stabilitas terganggu. Stabilitas di Indonesia bisa dibilang stabil dalam tiga dasawarsa. Itu juga sesuatu. Selama 30 tahun, ekstremisme agama tidak kelihatan. Sebernarnya dari berbagai segi, suasana di Indonesia ketika itu jauh lebih menyenangkan.
DW: Sebenarnya apa yang dilakukan Suharto untuk menangkal kelompok ekstremis?
Beberapa tokoh ekstremisme agama kembali ke Indonesia di zaman reformasi. Mungkin mereka tidak pulang jika Suharto masih jadi presiden. Aliran dana dari Timur Tengah untuk mendukung kalangan Islam yang radikal bisa diduga akan dipersulit di bawah Orde Baru. Melihat hubungan antaragama, Orde Baru cukup berhasil. Dan hal itu tidak lepas dari figur Suharto sendiri sebagai orang Jawa yang berkiblat pada budaya priyayi yang diwarnai oleh sinkretisme agama yang toleran dan tidak dogmatis. Suharto sendiri memberi contoh yang baik, sebagai tokoh yang terkenal dekat dengan kebatinan. Dan, dalam hal lain juga kelihatan jenis toleransi yang penting: Dalam kabinet Suharto ada menteri yang “gay”, dan semua orang tahu, juga pubklik yang tahu. Sepertinya, itu tidak mungkin lagi terjadidi Indonesia sekarang.
DW: Meski Anda cukup dekat dengan Suharto, pasti ada yang Anda tak setuju dari Suharto, apa sajakah itu?
Cukup dekat dalam arti ada rasa simpati kepadanya sebagai manusia. Dan tentu, banyak sekali yang tidak dapat saya setujui sebagai orang yang besar dalam suasana demokratis, di sebuah negara yang sangat menghormati hak-hak asasi manusia, termasuk hak individual dan hak politik. Suharto bukan demokrat sejati, ia lebih mirip otokrat yang feodal, ya, sejenis raja Jawa yang modern. Dari segi demokrasi sejati tentu patut ditolak. Tapi, ya, Indonesia punya sejarah budaya yang berbeda, unsur feodal masih kuat. Dan, menurut kesan saya, sang “Raja Jawa” itu seorang nasionalis yang berupaya untuk berbuat yang terbaik bagi bangsanya, atau -paling sedikit- yang dianggapnya sebagai hal terbaik. Termasuk untuk rakyat kecil. Nasib petani banyak ia pikirkan, ia sendiri berasal dari kalangan itu. Dan, Suharto selama masa pemerintahan cukup populer di kalangan rakyat. Hasil pemilihan umum di bawah Orde Baru memungkinkan kesimpulan demikian.
DW: Namun ditengarai ada kecurangan?
Saya kira, sejauh ada permainan curang untuk menghasilkan hasil pemilu yang “baik”, pada dasarnya ada kemungkinan rakyat Indonesia untuk tidak memilihnya. Saya kira dalam pemilihan sebebas-bebasnya pun Suharto masih akan didukung oleh mayoritas pada waktu itu, karena mereka merasakan keadaan ekonomi dan lain sebagainya berkembang ke arah positif.
DW: Meski demikian, tetap saja pada tahun 1998 ada desakan untuk mengundurkan diri?
Ya, di tengah krisis ekonomi pada tahun itu, kepercayaan masyarakat kepada Suharto sangat menurun. Tapi, justru dalam keadaan ituia membuktikan rasa kebangsaan, nasionalismenya. Dalam waktu yang cukup singkat ia bersedia menyerah, mengundurkan diri. Menurut saya, itu bisa dinilai sebagai tindakan yang sangat bertanggung jawab. Bisa saja, ia ngotot, dan berupaya untuk tetap berkuasa. Dukungan dari berbagai kalangan, termasuk kalangan ABRI, masih ada. Bisa terjadi perang saudara atau paling sedikit kekacauan yang luar biasa. Hal itu tidak diinginkannya. Ia telah bertindak secara arif. Banyak penguasa lain tidak bersikap seperti Suharto pada waktu itu.
DW: Masih adakah yang menjadi tanda tanya Anda atas sosok Suharto?
Ya, ada. Bukan saja tanda tanya tapi sebuah masalah besar. Perihal penumpasan komunisme pada tahun 1965/66. Peristiwa yang mengakibatkan pembunuhan begitu banyak manusia yang tidak bersalah. Saya ingin tahu yang Suharto rasakan saat itu. Sejauh mana ia ketahui secara persis yang sesungguhnya terjadi di seluruh Indonesia. Sejauh mana ia sadari betapa ganas dan kejam kejadian itu. Mengapa ia membiarkan semua itu terjadi selama berbulan-bulan. Ingin bertanya kepadanya: apakah tidak ada jalan lain? Haruskah sebrutal ini? Apakah saat itu ia merasa bahwa bangsa Indonesia sebegitu terancam oleh komunisme/marxisme? Apakah ia sempat merasa bersalah?
DW: Apa pesan Anda pada Suharto, andai saja ia masih hidup?
Mungkin bukan pesan, tapi saran. Ini berkaitan dengan sebuah kesan yang saya peroleh selama berjam-jam menyaksikan Suharto dalam pembicaraan dengan Kanselir Kohl, juga dengan presiden dan menteri-menteri Jerman. Pihak Jerman, terutama Kanselir, banyak bertanya kepada Suharto. Mereka ingin tahu tentang politik di Indonesia, tentang budaya Indonesia, tentang pandangan Pak Harto pribadi. Rasa ingin tahu mereka ternyata besar sekali. Sedangkan Suharto cuma menjawab, tidak tanya balik. Sepertinya tak ada rasa ingin tahu padanya.
Suharto memang bukan cendekiawan dalam arti biasa. Juga tidak pernah menerima pendidikan luas, dia bukan akademisi. Barangkali, satu-satunya keahlian yang sungguh ia mililiki adalah bidang kemiliteran. Sepertinya, ia berada dalam dunia yang relatif “kecil“, dunia budaya Jawa. Dan itu sudah mencukupi baginya. Sesungguhnya, karirnya cukup menakjubkan. Dengan bekal yang minim itu, ia berhasil menjadi pemimpin bangsa yang berhasil. Pasti ia memiliki akal sehat yang istimewa, sanggup menganalisis masukan para ahli, dan mengambil keputusan yang baik.
Nah, saran saya kepadanya akan seperti ini: Coba dong, Pak Harto, tingkatkanlah rasa ingin tahu, berupaya memperluas wawasan. Tentang dunia, juga tentang dunia ide. Bacalah banyak buku, buku sejarah dunia, buku filosofi. Baca juga karya sastra, termasuk karya sastra Indonesia modern.
Saya kan orang sastra, juga berupaya menyebarkan sastra Indonesia melalui terjemahan ke bahasa Jerman. Nah, dulu kepada Suharto saya sarankan untuk mengadakan program resmi bersama pihak Jerman untuk pertukaran budaya, khususnya di bidang sastra dan bahasa. Saya ingat, betapa saya berusaha untuk meyakinkan dia bahwa penyebaran sastra Indonesia modern melalui penerjemahan sangatlah penting. Reaksinya sama sekali tidak membuktikan bahwa ia terkesan oleh ide seperti itu, malah saya punya perasaan bahwa ia kurang memahami poin saya, karena jawabannya yang saya ingat cukup ngawur. Tapi ada asistennya yang mencatat saran saya, dan akhirnya hal itu menjadi topik dalam pembicaraan dengan Kanselir Kohl. Kanselir Jerman mengapresiasinya, dan akhirnya didirikanlah sebuah “Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra”. Ternyata ada keuntungan khusus menjadi penerjemah Suharto. Tapi, lepas dari itu, saya merasa beruntung sekali berkenalan secara dekat dengan tokoh yang memimpin bangsa Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa.
Interview dilakukan dengan:
Berthold Damshäuser, penerjemah yang ditunjuk pemerintah Jerman dalam pertemuan Suharto dengan pemimpin Jerman pada tahun 1991, 1993, 1995 dan 1996. Ia adalah Indonesianis dari Universitas Bonn/Jerman. Sejak 1986 mengajar di Jurusan Studi Asia Tenggara, Institut für Orient und Asienwissenschaften (Lembaga Kajian Asia). Pemimpin redaksi Orientierungen, sebuah jurnal tentang kebudayaan-kebudayaan Asia; anggota redaksi Jurnal Sajak. Publikasinya banyak di bidang sastra dan budaya. Editor buku “Wege nach – und mit – Indonesien“, penulis buku „Ini dan Itu Indonesia – Pandangan Seorang Jerman”.
Sumber : DW
0 Komentar