PARTAI Aksi Rakyat (PAP) sebagai partai penguasa di Singapura kembali memenangkan Pemilu di negeri itu yang digelar beberapa hari kemarin. Namun, kali ini mereka menang dengan hasil yang paling buruk sejak sejarah mereka.
Berdasarkan laporan Reuters, dalam pemungutan suara yang diselenggarakan Jumat (10/7/2020) lalu, PAP memperoleh 83 dari 93 kursi parlemen Singapura, sementara sisa 10 kursi menjadi jatah partai oposisi.
Dalam standar internasional, hasil ini disebut sebagai “kemenangan besar dan mutlak”. Namun, berbeda dengan yang disampaikan PAP, karena 10 kursi yang dimenangkan partai oposisi belum pernah terjadi sebelumnya.
Meskipun memenangkan kursi mayoritas di parlemen, 83 dari 93 kursi yang dimenangkan pada tahun ini justru turun dibanding tahun 2015 lalu.
Persentase turun dari 70 persen menjadi 61 persen pada tahun ini, yang menurut PM Lee Hsien Loong hal itu menunjukkan “keinginan jelas akan keragaman suara.”
“Warga Singapura ingin PAP membentuk pemerintah, tetapi mereka, terutama para pemilih yang lebih muda, juga ingin melihat lebih banyak kehadiran oposisi di parlemen,” kata Lee, dalam konferensi pers, Sabtu (11/7/2020) lalu.
Hasil pemilihan memberikan gambaran tentang rencana Lee untuk mencari mandat bagi generasi pemimpin berikutnya saat ia bersiap untuk turun. Para analis mengatakan, Partai Buruh yang kuat bisa membuat pergantian kekuasaan dari Lee menjadi lebih progresif.
Dikutip dari Antara, penggantinya yang ditunjuk, Wakil PM Heng Swee Keat, meraih 53 persen suara di daerah pemilihannya, dalam pemungutan suara yang menjadi “ujian nyata pertama popularitasnya.”
“Ini bukan dukungan kuat dari para pemimpin baru,” kata Bridget Welsh, rekan riset kehormatan di University of Nottingham Asia Research Institute Malaysia.
Menurut Welsh, Heng dianggap “tidak memiliki daya tarik nasional dalam kampanye,” seperti halnya banyak pemimpin generasi berikutnya. Perdana menteri yang bertaruh dengan menyerukan Pemilu di tengah pandemi Covid-19 mengatakan, dia sekarang akan “melihat krisis ini selesai”.
Pernyataan tersebut oleh para analis politik diartikan sebagai kemungkinan bahwa Lee akan menunda suksesi kepemimpinan dengan menangguhkan rencana pensiunnya. Meski putra pendiri Singapura Lee Kuan Yew, yang merupakan perdana menteri ketiga sejak kemerdekaan Singapura itu mengatakan, dia sedang bersiap untuk “menyerahkan kendali kepada generasi pemimpin baru di tahun-tahun mendatang.”
Dengan kursi mayoritas di parlemen yang begitu besar, PAP tak perlu memperhatikan opini publik tentang kebijakan atau rencana pemerintah yang akan diambil.
Bahkan, Heng sendiri telah dipilih oleh rekan-rekannya sebagai pemimpin masa depan dalam proses yang tertutup.
Stabilitas dan prediksi begitu menentukan arah politik Singapura, yang sejak kemerdekaan 1965 didominasi oleh PAP. Hal itu terbukti sangat penting dalam mengembangkan negara itu menjadi pusat keuangan global dan pusat perdagangan regional.
Namun, para analis mengatakan, “kemunduran yang tak terduga” bagi partai Lee memungkinkan aturan yang lebih ketat tentang tenaga kerja asing dan perubahan lain pada kebijakan sosial untuk meredakan kekhawatiran, yang sejak dalam debat begitu digaungkan oleh partai-partai oposisi.
“Pembuat kebijakan akan memiliki batasan yang lebih ketat tenaga kerja asing di dan untuk menggandakan upaya kesejahteraan ekonomi kelompok berpenghasilan rendah,” kata Song Seng Wun, seorang ekonom CIMB Private Banking.
Pada 2011, ketika PAP mencatat rekor terendah 60 persen dalam pemungutan suara, partai itu memperketat aturan perekrutan internasional untuk mengatasi sensitivitas pemilih, demikian seperti dilaporkan Straits Times.
Hal serupa terjadi pula pada tahun ini. Yang menarik, apakah Singapura, dengan PAP yang berkuasa akan memperketat aturan serupa, melihat para pemilih tahun ini juga menyatakan keprihatinan tentang prospek pekerjaan mereka dan apakah Singapura yang kecil dan kaya membutuhkan begitu banyak orang asing dengan bayaran tinggi.
Sumber : Reuters / Straits Times / Antara / Tirto
0 Komentar